13 "Ilmu tanpa amal/praktek bagaikan pohon yang tidak berbuah." 14. "Terus berjalan meskipun dihantui kelelahan, terus belajar meskipun didekati oleh kebosanan, karena hal-hal yang kita lakukan pasti akan selalu ada hambatan yang menghalangi." 15. "Apa pun kata orang lain, belajar dan bekerja keraslah untuk mencapai kesuksesan." 16.
Menurutku guru bagaikan sang biru yang selalu memtransfer ilmunya dan selalu menyejukkan hati ini dengan segala motivasi yang diberikan olehnya. Mungkin aneh kali ya, masa guru tapi dibilang murid. Maksudnya itu, walaupun sudah menjadi guru kita itu harus tetap belajar, belajar, dan belajar. “ Buku adalah motor peradaban, tanpa buku
Kedua Guru yang ideal adalah guru yang rajin membaca dan menulis. Pengalaman mengatakan, siapa yang rajin membaca, maka ia akan kaya akan ilmu. Namun, bila kita malas membaca, maka kemiskinan ilmu akan terasa. Guru yang rajin membaca otaknya seperti komputer atau ibarat mesin pencari di internet ysng bernama Google.
Jikasedang belajar meraih faedah Jangan hanya sekadar meraih ijazah. Ilmu itu jangan hanya dihafalkan Tetapi juga harus diamalkan. Guru yang tidak bisa jadi teladan Bagaikan bayangan tanpa badan. Guru yang mampu jadikan teladan Bagaikan cahaya dari kegelapan. Belajar itu harus bertahap Bagaikan mendirikan sebuah atap . Seorang guru harus bersabar
SelanjutnyaI.G.A.K Wardani, Kuswaya Wihardit; Noehi Nasution merumuskan pengertian penelitian tindakan kelas sebagai berikut : penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang dilakukan oleh guru didalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat.
Bagaikanlaksana sebuah lilin. Walaupun dirimu terbakar, Tapi tetap bersinar terang . Di kegelapan. Dirimu tak pernah mengeluh. kami belajar hari itu tanpa bimbingan guru.. sedih juga karena kami belajar tanpa guru, ingin bertanya tapi tidak ada tempat bertanya, aku bertanya kepada teman “lucu juga yah belajar tanpa guru
Bagaikansinar di kegelapan. (13) Belajar mesti bertahap. Bagai membangun sebuah atap. (14) Seorang guru mesti bersabar. Kepada murid yang dia ajar. (15) Murid haruslah bersikap baik. Kepada guru yang tengah didik. (16) Kalau engaku tidak
Bukukubagaikan laut yang tiada pernah habis memberi Hal ini otomatis menyulitkan guru dan siswa yang terpaksa belajar tanpa menggunakan buku sama sekali. Pendidikan mustahil dilakukan tanpa adanya buku pegangan guru dan siswa. Keberadaansoft copy yang diberikan Dinas Pendidikan, menurut dia, tidak menyelesaikan persoalan
zd0lHB. loading...Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist Ustaz Miftah el-BanjaryPakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'anPepatah Arab mengatakan, "Wa innamal 'ilmu bitta'allum. Ilmu itu harus berguru." Pepatah ini sudah menjadi pakem bagi siapa saja yang ingin alim, ingin berilmu , harus berguru. Sebab ilmu tidak akan hasil sempurna kecuali memiliki seorang guru, seorang ini banyak orang yang merasa berilmu hanya dengan membaca artikel di Google, belajar agama di Youtube, berguru di media sosial. Lalu merasa lebih berilmu dari orang yang duduk puluhan tahun membaca kitab di hadapan seorang guru. Baca Juga Al-Qur'an menegaskanهَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ"Tidak akan pernah sama orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu pengetahuan..." QS az-Zumar Ayat 9Menguasai keilmuan agama yang layak disebut alim itu tidak semudah membuka website dan PDF atau membaca buku-buku terjemahan. Perlu puluhan tahun menghapal matan-matan kitab kuning. Tanya saja para tuan guru, kiyai, ustaz-ustaz pesantren itu bagaimana perjuangan mereka. Ironisnya, ada orang belum pernah baca kitab, belum punya sanad keilmuan, mengklaim anti mazhab, anti fatwa, anti maulid, anti tahlil, anti bid'ah, anti ziarah kubur sebagainya. Bahkan, sekiranya dipaparkan pendapat para imam semisal Imam Suyuthi, Imam Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Nawawi, para ulama terdahulu yang tidak diragukan lagi hujjah serta pemahaman mereka terhadap teks-teks Al-Qur'an dan hadits, mereka menolak disebabkan kejahilannya. Ada baiknya tidak saling menuding dan menyalahkan selama persoalan itu masih dalam perdebatan para ulama. Tentu, setiap perdebatan para ulama terkait persoalan khilafiyyah bukan menjadi ranah orang awam ikut mencela serta membid'ahkannya, bukan?Sayangnya, para penuntut ilmu bermazhab Googliyyah ini, seringkali ketika diminta menjelaskan karya para ulama dari literatur klasik Arab gundul, tanpa harakat kebanyakan mingkem, tidak mampu menjelaskan dengan berbagai alasan. Bahkan tidak tahu apa itu ilmu Nahwu dan Sharaf, Manthiq, Balaghah, Dilalah belum dipelajari, apalagi dikuasai. Sebuah dalil itu tidak ujug-ujug ada begitu saja. Tidak cukup melahirkan sebuah pendalilan dari terjemahannya Al-Qur'an semata. Terjemahan itu hanya alih bahasa untuk mendekatkan pemahaman, bukan makna hakiki. Prosesnya panjang. Baca Juga 15 Ilmu Ini Harus Dikuasai Jika Ingin Menafsirkan Al-Qur'anUntuk mengetahui sebuah makna suatu kata, perlu mempelajari dahulu ilmu Dilalah atau ilmu semantik Arab. Untuk mengetahui makna dilalah, harus masuk dulu pada analisa dilalah mu'jamiyyah semantik makna kamus, baru dilalah nahwiyyah, sharfiyyahhinggasiyaqiyyah. Kebetulan ini bidang kajian saya dan saya mengajarkan kata Quru dalam Al-Qur'an dia bermakna ganda. Quru bisa berarti suci, Quru bisa berarti haid. Maknanya mengandung ambigiutas. Sama kata "Kafara" bisa bermakna keluar dari iman, bisa juga menghapuskan pemaknaan secara semantik yang beragam ini nanti akan memunculkan berbagai intepretasi dan tafsiran dari berbagai para mufasir. Maka oleh karena itu, mengapa ada banyak ragam kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama kita sejak abad pertama, pertengahan hingga modern ini. Fenomena ini tidak pernah sunyi dan menentukan sebuah pendalilan yang melahirkan istinbath/ketetapan hukum juga tidak sederhana. Seseorang perlu memahami apa itu istilah Ushuli, seperti Am, Khas, Muaqayyad, Muthlak, Sharih, Mujmal, dan lain pula dalam pendalilan dari sebuah hadis, perlu memahami dan menguasai, apa itu istilah Asbabul Wurud, Tarajim, Rijalul Hadits, Tsiqqah, Mudallas, Mardud, dan sebagainya. Baca Juga Para Fuqaha membagi dasar hukum syariat itu hanya ada pada landasan Halal, Haram, Wajib, Sunnah, Makruh, Mubah. Tidak ada kategori hukum itu dikenal istilah hukum Bid'ah. Tidak ada dalam literatur Fiqh seperti demikian itu. Silakan dikaji dan jika hanya sebatas berguru di internet, ya percaya saja dengan ulama yang sudah diketahui kapasitas keilmuannya dimana, dengan siapa dia berguru, di institusi mana dia belajar, seperti apa dan bagaimana cari yang jelas-jelas sedikit-dikit orang yang berpenampilan ustaz, lantas dengan mudahnya dipanggil dan dianggap ustaz, lihat dulu bacaan Qur'annya, pemahaman ilmu fiqihnya. Jangan mudah melabeli seseorang ustaz, kasihan kalau tidak mumpuni bisa terjebak pada label itu. Nanti justru menyesatkan berfatwa tanpa didasari keilmuan. Apalagi tentang pengetahuan agama yang membawa keselamatan dunia dan akhirat. Karena itu, perlunya memiliki guru dan sanad keilmuan . Baca Juga Wallahu A'lamrhs
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Belakangan ini banyak yang menyampaikan, belajar tidak harus dengan seorang guru. Belajar bisa dengan apa saja dan di mana saja. Pendapat ini boleh jadi benar, namun bisa juga kurang tepat. Sebab, sejatinya yang disebut guru tentulah bukan hanya orang yang benar-benar berprofesi sebagai hal ini, guru yang dimaksud adalah guru kehidupan. Hidup tentu bukan semata-mata menguasai persoalan akademis saja. Di dalam universitas kehidupan, guru bisa didapatkan dari mana saja dan siapa saja. Maka bisa dipastikan, belajar tetap memerlukan seorang guru, apa pun era multimedia seperti saat ini, setiap individu tidak lagi dibatasi ruang dan waktu dalam belajar. Bahkan belajar jarak jauh dengan metode online semakin marak. Ini tentu memungkinkan semua orang bisa belajar apa saja, di mana saja. Lalu siapa gurunya? Tentu saja mereka yang sudah memfasilitasi pembelajaran tersebut. Saat ini, seorang murid bahkan bisa belajar dari seorang guru yang tidak dikenal secara langsung. Pun guru bisa mengajar tanpa mengenal satu demi satu muridnya. Sebab pembelajaran dilakukan menembus ruang dan waktu menggunakan sarana internet. Namun ada juga guru yang tetap bertahan mengajar dengan metode tradisional, secara tatap muka. Metode ini masih memiliki banyak keunggulan. Bagi sahabat yang sudah melewati beberapa bangku sekolah, bukankah interaksi dengan guru merupakan sesuatu yang sangat berharga? Justru kehadiran guru ini tidak hanya sebatas memberikan ilmu, namun juga memberikan pembelajaran di sinilah letak perbedaan utama antara guru yang mengajar tatap muka dengan guru yang mengajar melalui belantara maya. Interaksi yang terjadi sangat bernilai harganya. Terlebih, melalui interaksi itu pula, seorang guru bisa memberikan saran dan koreksi kepada muridnya. Koreksi ini merupakan sesuatu yang agaknya sulit didapatkan dengan metode pembelajaran online. Belajar tanpa guru memang bisa. Namun, belajar langsung dengan para guru hebat, tentu sangat berbeda hasilnya. Ada banyak hal di luar keilmuan yang bisa lekat di ingatan, ketika guru saya, Pak Rachmad, seorang guru olahraga sekaligus pembina Pramuka di SMP 33 Surabaya, menyarankan kepada saya untuk menjadi wartawan. Rupanya, beliau memahami bagaimana bakat dan kemampuan saya dalam hal tulis-menulis, sehingga muncullah saran tersebut. Jelas saya merasa sangat beruntung, karena berkat arahan beliau, saya pun akhirnya benar-benar menjadi seorang pula ketika duduk di bangku SMA 2 Berau, guru bahasa Indonesia, Pak Sumarto pernah mendaulat saya untuk mewakili sekolah mengikuti lomba pidato. Padahal, saya sama sekali tidak merasa pandai bicara di depan umum. Namun, beliaulah yang memberikan arahan dan bimbingan, hingga kemudian saya bisa berlaga dalam lomba pidato hingga tingkat nasional. Untuk bisa menjadi wartawan, saya pun akhirnya mengenal sosok wartawan di Berau yang kini menjadi kepala Dinas Pariwisata Berau. Mappasikra Mappaselleng, dulu merupakan wartawan harian Manuntung sekarang Kaltim Post. Berkat kesediaannya mengajarkan saya ilmu jurnalistik tanpa pamrih, akhirnya saya pun bisa mengikuti jejaknya menjadi wartawan Kaltim Post hingga Kaltim Post, saya pun memiliki guru yang mengajarkan ketelitian. Syafril Teha Noer, sekarang ketua Dewan Redaksi, sangat detail dan teliti dalam mengoreksi tulisan. Berkat kejeliannya pula, saya akhirnya terbiasa menulis dengan bersih, berupaya tanpa salah kata satu huruf pun. Meski terkadang masih ada terselip kesalahan, itu tandanya saya manusia biasa, terkadang masih bisa silap menjalankan perusahaan, ketika diberikan amanah memimpin Berau Post, guru saya adalah Zainal Muttaqin. Beliau merupakan sosok guru bijak yang sampai saat ini menjadi panutan di Kaltim Post Group. Dengan tangan dinginnya, perusahaan yang ditanganinya bisa berkembang. Pembelajaran itulah yang memungkinkan Berau Post yang ada saat ini, bisa terus hidup dan berkembang. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Seorang guru selamanya akan menjadi guru, meskipun kita sebagai siswanya telah melupakan atau sudah tidak mengingat wajah ataupun namanya. Karena sejatinya guru itu seseorang yang sangat berjasa, bagikan lilin yaitu ia menerangi jalan banyak orang dengan kemampuanya walaupun ia yang tersakiti. Dalam arti seorang guru dalam keadaan lelah pun tetap memberikan ilmunya kepada siswanya. Tanpa adanya seorang guru, kita tidak bisa menjadi seperti yang sekarang ini, menjadi seseorang yang pandai akan segala hal yang ada dalam diri masing-masing, karena kemampuan yang dimiliki seorang itu dapat di tingkatkan melalui belajar, dan tanpa adanya seorang guru yang mengarahkan apakah kita sebagai seseorang yang belajar bisa mwlakukan nya sendiri? Tentu saja tidak. Maka dari itu guru dikatakan bagaikan lilin. Lihat Pendidikan Selengkapnya